Siluet di Tengah Bising Kota: Patung Pancoran dan Wajah Jakarta
![]() |
Sumber: Pinterest |
Jakarta, 4 Juni 2025 — Di antara gemuruh kendaraan yang tak pernah
berhenti melintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, berdiri tegak sosok
maskulin yang tengah melayang dengan tangan teracung ke depan. Itulah Patung
Dirgantara, atau lebih dikenal warga sebagai Patung Pancoran sebuah ikon ibu
kota yang tak sekadar menjadi penanda jalan, melainkan simbol semangat zaman.
Monumen setinggi 11 meter di atas landasan setinggi 27
meter ini tak hanya menjadi titik orientasi warga yang lalu-lalang di kawasan
Pancoran. Ia juga menjadi saksi bisu perubahan wajah Jakarta selama lebih dari
lima dekade terakhir. Dari era Orde Lama hingga era digital, dari becak hingga
ojek online, Patung Pancoran tetap berdiri, menyambut dan mengantar ribuan
warga setiap harinya.
Dibangun pada akhir tahun 1960-an atas gagasan
Presiden Soekarno dan dirancang oleh seniman Edhi Sunarso, Patung Dirgantara
merupakan salah satu dari rangkaian patung monumental yang merepresentasikan
cita-cita bangsa. Dengan gaya realis dan dinamis, patung ini menggambarkan
manusia Indonesia yang percaya diri, penuh daya, dan siap menembus batas
angkasa.
“Pak Karno ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya
keberanian dan kemampuan di bidang dirgantara, meski saat itu kondisi ekonomi
belum stabil,” ujar sejarawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam sebuah wawancara
terdahulu.
Posisi patung yang mengarah ke bekas Bandara Kemayoran
bukanlah kebetulan. Ia menjadi penghormatan terhadap dunia penerbangan,
sekaligus lambang kemajuan dan keterbukaan terhadap teknologi modern. Bagi
warga Jakarta, keberadaannya bukan hanya estetika urban, tetapi juga memori
kolektif tentang impian besar di tengah kesibukan kota.
Setiap harinya, kawasan di sekitar patung menjadi
titik perlintasan ribuan kendaraan. Di bawah bayangannya, pengemudi ojek online
mencari penumpang, pedagang kaki lima menggelar dagangan, dan pekerja kantor
menatap layar ponsel sambil menunggu lampu hijau.
“Patung ini jadi patokan. Kalau saya bilang ‘turun di
Pancoran, dekat patung’, semua langsung tahu,” ujar Nurdin (34), pengemudi ojek
online yang mangkal di sekitar kawasan tersebut.
Di pagi hari, siluet patung yang membelah kabut tampak
gagah di balik gedung-gedung perkantoran. Saat senja, pancaran cahaya matahari
membingkai sosoknya dalam warna keemasan. Tak sedikit fotografer jalanan yang
menjadikan momen-momen ini sebagai latar favorit. Bahkan dalam kondisi lalu
lintas yang padat, banyak pengendara tak sadar memandang ke arah patung seolah
menyerap energi dari sosok yang tak pernah letih berdiri.
Dalam lanskap Jakarta yang terus berubah, Patung
Pancoran menjadi simbol kesinambungan. Di tengah menjulangnya gedung-gedung
baru dan berkembangnya infrastruktur modern, monumen ini tetap menjadi bagian
tak terpisahkan dari narasi kota.
“Keberadaan patung-patung publik seperti ini sangat
penting. Ia membentuk identitas ruang dan memberi karakter pada kota,” kata
Denny Setiawan, dosen arsitektur dari sebuah universitas swasta di Jakarta.
Namun, perawatan dan pelestariannya tidak boleh
diabaikan. Patung Pancoran, seperti banyak monumen sejarah lainnya, perlu
perhatian dari pemerintah dan warga agar tetap lestari sebagai warisan budaya
urban.
Rubrik Inframe kali ini menyorot Patung
Pancoran bukan semata sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang hidup
yang berbicara melalui kehadirannya, melalui kisah di baliknya, dan melalui
interaksinya dengan warga kota.
Di tengah gegap gempita ibu kota, Patung Pancoran
berdiri tidak untuk mengawasi, tetapi untuk menginspirasi. Ia mengingatkan
bahwa di balik kesibukan dan kebisingan, Jakarta menyimpan cerita tentang
harapan, perjuangan, dan mimpi yang membubung tinggi, setinggi tangan patung
yang menunjuk langit.
Text: Nadira Aulia Azahra
Komentar
Posting Komentar