Sewu Satu: 1001 Imajinasi di Jantung Jakarta
Jakarta, 12 Mei 2025 – M.H.
Thamrin, kawasan ikonis Jakarta Pusat yang kerap dilalui hiruk-pikuk aktivitas
kota, kini menjadi saksi bisu hadirnya sebuah perayaan seni yang penuh warna
dan makna. Bertajuk "Sewu Satu", pameran seni rupa yang
diselenggarakan hingga tanggal 18 Mei ini menyuguhkan ratusan karya visual yang
tak hanya menggoda mata, tetapi juga mengajak pengunjung menyelami lapisan
narasi, identitas, dan eksplorasi imajinatif yang ditawarkan para seniman.
Pameran ini terbuka untuk umum tanpa dikenakan biaya
masuk. Diselenggarakan setiap hari Selasa hingga Minggu pukul 12.00 hingga
19.00 WIB, "Sewu Satu" menjadi ruang yang inklusif bagi masyarakat
luas untuk menikmati seni dalam berbagai bentuknya.
Setibanya di ruang pamer, pengunjung akan langsung
disambut oleh dua pendekatan visual yang kontras namun saling melengkapi. Pada
sisi kiri ruangan, terpajang tiga lukisan besar yang menggambarkan
perempuan-perempuan dalam balutan kebaya dan kain tradisional, tengah melakukan
aktivitas keseharian seperti merangkai sesajen, mempersiapkan upacara, dan
merawat diri. Gaya lukisan ini mengingatkan pada nuansa klasik Bali, dengan
warna-warna pastel yang lembut dan goresan halus yang memancarkan ketenangan.
Sebaliknya, sisi lain ruangan menampilkan deretan
lukisan kontemporer berbingkai emas dalam berbagai ukuran. Karya-karya ini
bermain dengan warna-warna berani dan bentuk-bentuk surealis. Terlihat
elemen-elemen laut, manusia setengah hewan, anggur, tentakel, hingga
simbol-simbol yang menyerupai mitologi modern, disusun dalam pola tak
beraturan. Narasi visualnya seperti potongan mimpi liar yang dibekukan dalam
kanvas.
Kehadiran kedua gaya ini dalam satu ruang pamer
menciptakan dinamika visual yang menarik. Di satu sisi, pengunjung diajak
merenung dalam suasana yang meditatif dan budaya, di sisi lain mereka dibawa
menjelajah imajinasi yang liar dan penuh eksperimen. Kedua kutub ini
menjelaskan semangat "Sewu Satu" ribuan kemungkinan dalam satu ruang
ekspresi.
"Sewu Satu" secara harfiah berarti “seribu
satu”, sebuah frasa yang lazim digunakan untuk menyiratkan kelimpahan, variasi,
dan ketakterbatasan. Dalam konteks pameran ini, makna tersebut tercermin pada
keberagaman teknik, tema, dan sudut pandang yang dihadirkan para perupa. Tak
ada batasan tunggal dalam hal bentuk atau pesan. Dari yang menggugah
spiritualitas hingga yang menggelitik absurditas modern, semua dikurasi dalam
satu alur yang memberi ruang untuk kontemplasi dan kebebasan interpretasi.
Selain sebagai ajang apresiasi seni, "Sewu
Satu" juga menjadi bentuk pernyataan penting tentang aksesibilitas budaya.
Dengan tiket masuk gratis dan jadwal pameran yang cukup fleksibel, acara ini
membuka peluang bagi siapa pun dari penikmat seni serius hingga pelajar dan
masyarakat umum untuk berinteraksi langsung dengan dunia seni rupa.
Galeri tempat pameran ini berlangsung dirancang
minimalis dan bersih, dengan pencahayaan yang mendukung kenyamanan melihat
karya tanpa gangguan. Atmosfer yang diciptakan memberi keleluasaan pengunjung
untuk berhenti sejenak, mengamati, dan merenungi setiap detail yang terpajang
di dinding.
Pameran "Sewu Satu" di kawasan M.H. Thamrin
adalah bukti bahwa seni tidak hanya hidup di ruang-ruang eksklusif. Ia hadir
dan tumbuh bersama masyarakat, mengajak berdialog, dan merayakan keberagaman
ekspresi manusia. Bagi siapa pun yang tengah berada di Jakarta, menyempatkan
diri mengunjungi pameran ini bukan hanya sekadar kegiatan mengisi waktu,
melainkan pengalaman yang memperkaya pandangan dan rasa.
Lebih dari sekadar presentasi visual, "Sewu
Satu" juga mengajak kita merenungkan posisi seni dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, seni menawarkan
ruang untuk jeda tempat di mana manusia bisa kembali pada pengalaman personal,
mengenali makna, dan meresapi keindahan dalam ketidaksempurnaan. Pameran ini
tidak hanya menunjukkan apa yang bisa diciptakan oleh tangan-tangan kreatif,
tetapi juga mengajak kita semua untuk menjadi bagian dari narasi itu sebagai
pengamat, penafsir, dan mungkin pencipta selanjutnya.
Text: Nadira Aulia Azahra
Komentar
Posting Komentar