Senandung Sunyi dalam Warna dan Garis
Jakarta, 19 Mei 2025 – Sebuah
pengalaman visual yang menyentuh ranah kontemplatif disuguhkan dalam pameran
seni rupa kontemporer yang tengah berlangsung di Wisma Geha, kawasan M. H.
Thamrin, Jakarta Pusat. Pameran ini terbuka untuk umum secara gratis (free HTM)
dan diselenggarakan setiap hari Selasa hingga Minggu, pukul 12.00 - 19.00 WIB.
Bertempat di sebuah ruang galeri bercat abu-abu minimalis, pameran ini
menyuguhkan karya-karya visual yang memancing perenungan dan mengajak
pengunjung untuk menyelami kedalaman imaji dan tekstur emosional.
Tiga karya seni utama yang ditampilkan menyajikan
pendekatan artistik yang unik, masing-masing menyampaikan narasi visual lewat
teknik dan bahasa rupa yang berbeda namun saling bersinergi dalam suasana
kesunyian dan kedalaman batin.
Karya pertama yang mencuri perhatian adalah sebuah
lukisan besar bergaya abstrak geometris, tergantung dari langit-langit
menggunakan rangka kayu terbuka. Permukaan kanvas memperlihatkan bentuk-bentuk
berlapis dengan gradasi warna tanah, abu-abu, dan coklat kemerahan.
Guratan-guratan bersudut tumpul dan transparansi sapuan warna menghadirkan
kesan gerak dan kedalaman, seolah mengisyaratkan dinamika batin atau lanskap
dalam memori. Komposisinya yang dinamis namun tertahan oleh warna-warna netral
memperkuat atmosfer meditatif. Penempatan karya yang tidak bersentuhan langsung
dengan dinding turut mempertegas kesan melayang dan memberi ruang bagi penonton
untuk mengelilinginya, menandai adanya pendekatan instalatif dalam presentasi
visual.
Berpindah ke dinding seberangnya, tiga karya gambar
berskala kecil dengan media kertas dan bingkai kayu menampilkan jejak-jejak
halus seolah bekas sentuhan alam atau gerak angin. Setiap lembar kertas
menunjukkan garis-garis samar, sebagian berlapis dan sebagian bergerombol,
menciptakan tekstur visual yang menyerupai akar, cabang, atau bahkan sketsa
awan. Ketiganya seolah menjadi satu rangkaian narasi yang merekam gerak, waktu,
dan kekosongan. Meski terlihat sederhana, karya-karya ini justru memancing kedekatan
emosional lewat bahasa yang nyaris tak bersuara, mengajak penonton untuk
memperhatikan detail terkecil dan merefleksikan kembali pengalaman terhadap
ruang dan waktu.
Karya ketiga yang diletakkan di sisi ruang lainnya
menampilkan sebuah lukisan berpalet gelap dengan campuran warna ungu, hijau,
dan abu-abu yang tertutupi lapisan semi-transparan. Komposisinya tampak sebagai
bentuk-bentuk amorf yang bertumpuk seperti struktur organik atau fosil yang
terpendam dalam waktu. Penerapan teknik tekstur kasar dan efek kabur memberikan
kesan misterius, seolah menyimpan cerita yang terpendam. Pencahayaan redup yang
sengaja diarahkan memperkuat nuansa tersebut, menjadikan karya ini sebagai
titik kontemplasi yang mengajak penonton tenggelam dalam ruang batin yang
pekat.
Ruang galeri di Wisma Geha tidak hanya menjadi tempat
pajang karya, tetapi juga ruang hening yang memungkinkan pengalaman estetika
lebih dalam. Tidak terdengar suara musik atau audio visual. Semua elemen
diredam agar pengunjung dapat sepenuhnya menyatu dengan visualisasi yang
disuguhkan. Dalam setiap langkah, penonton diajak untuk memperlambat gerak dan
membuka ruang tafsir atas kesan yang muncul dari tiap bidang dan lapisan warna.
Pencahayaan diarahkan secara selektif, menciptakan bayangan lembut yang menekankan
dimensi dan tekstur karya. Tata letak ruang pun dibuat longgar, memberi jeda
antar karya agar tiap objek bisa dinikmati secara individual tanpa gangguan
visual lainnya.
Keseluruhan karya dalam pameran ini tidak memberikan
narasi gamblang. Sebaliknya, mereka membuka ruang tafsir yang luas, menantang
persepsi dan pengalaman masing-masing penikmatnya. Kurasi ruang yang rapi dan
minimalis turut mendukung fokus terhadap karya tanpa gangguan elemen visual
tambahan. Warna abu-abu dinding memberi latar yang netral namun hangat,
menonjolkan setiap sapuan, garis, dan tekstur dari karya yang ditampilkan.
Pameran di Wisma Geha ini menjadi bukti bahwa seni
tidak harus hadir dalam bentuk yang literal atau naratif untuk menyampaikan
makna. Lewat abstraksi, fragmen, dan jejak, seniman mampu membangun dialog
visual yang intim, reflektif, dan penuh makna. Dalam dunia yang kian bising
oleh citra dan informasi instan, karya-karya seperti ini menjadi oase yang
mengingatkan kembali pada pentingnya keheningan, penyerapan, dan pengalaman
estetika yang mendalam. Bagi siapa pun yang berada di Jakarta Pusat, pameran ini
layak menjadi destinasi singgah untuk menyegarkan pandangan dan jiwa.
Text: Nadira Aulia Azahra
Komentar
Posting Komentar