Kontras Dua Zaman: Ketika Rakyat Bertani dan Elite Berunding
Jakarta, 27 Mei 2025 — Di balik dinding Museum Bank
Indonesia yang megah, dua diorama menggambarkan kisah panjang perjalanan
bangsa: satu memotret kehidupan rakyat kecil yang bekerja keras di desa, dan
satu lagi menyajikan suasana perundingan elit kolonial di dalam gedung mewah
berarsitektur Eropa. Kedua representasi ini bukan hanya pengingat sejarah,
tetapi juga cermin dari kontras sosial yang pernah (dan mungkin masih) terjadi
di Indonesia.
Pada gambar pertama, tampak sebuah instalasi etnografi
yang menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan tradisional. Dua patung pria
dari bahan resin atau semen berpose dalam aktivitas mengolah hasil bumi. Yang
satu memegang alu tinggi di atas kepala, siap menumbuk bahan makanan dalam
lumpang besar, sementara yang lain duduk di bawah atap rumbia, mengawasi
proses. Di sekitarnya, tampak keranjang bambu berisi alat-alat pertanian
sederhana, potongan kayu bakar, dan batu bara. Latar belakangnya dihiasi deretan
foto dokumentasi yang menggambarkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat
agraris Nusantara.
Diorama ini seolah membawa kita ke masa lalu, saat
ketahanan pangan dan gotong royong menjadi nadi kehidupan desa. Alat-alat yang
digunakan sangat khas Indonesia, seperti lesung, alu, bakul bambu, serta tungku
batu. Semua ini menggambarkan bagaimana rakyat hidup dari tanah yang mereka
garap sendiri, tanpa mesin, tanpa teknologi canggih hanya mengandalkan tenaga
dan kearifan lokal.
Sementara itu, gambar kedua menunjukkan suasana yang
jauh berbeda: sebuah ruangan besar bergaya kolonial dengan lampu gantung antik,
jendela kaca patri, dan perabot kayu jati tua. Di ruangan itu, lima tokoh pria
berdiskusi serius di meja panjang. Mereka mengenakan jas rapi khas Eropa,
lengkap dengan dasi dan sepatu kulit mengkilap. Tampaknya ini menggambarkan
suasana pertemuan resmi antara pejabat kolonial Belanda dengan tokoh lokal,
atau bahkan perundingan politik yang mengubah arah sejarah.
Komposisi ruangan tersebut mengingatkan pada
gedung-gedung warisan kolonial seperti Gedung Merdeka di Bandung atau Lawang
Sewu di Semarang. Gaya arsitektur art deco dan tata letak formal
mengindikasikan betapa kuatnya pengaruh pemerintahan kolonial dalam struktur
birokrasi masa lalu. Pertemuan di ruang seperti ini bisa jadi menjadi tempat
lahirnya kebijakan-kebijakan penting baik yang merugikan rakyat maupun yang
mengarah pada emansipasi politik pribumi.
Jika kita hubungkan kedua gambar ini, tampak jelas
kontras yang sangat mencolok antara kelas sosial yang berbeda. Di satu sisi,
rakyat kecil bekerja keras demi mengisi perut dan menyambung hidup. Di sisi
lain, elite politik duduk tenang merancang masa depan, kadang tanpa suara dari
mereka yang paling terdampak. Inilah potret sejarah yang jujur dan tak
terbantahkan.
Melalui visualisasi ini, pengunjung diajak tak hanya
untuk melihat, tetapi juga merenung dan memahami bahwa sejarah bukanlah sekadar
tanggal dan nama. Ia adalah cerita manusia tentang kerja keras, perjuangan, dan
ketimpangan yang terus berulang. Diorama menjadi jendela yang menghidupkan
kembali masa lalu dalam bentuk yang nyata dan mudah dipahami oleh semua
kalangan.
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan visual seperti
ini sangat efektif dalam pendidikan sejarah, terutama bagi generasi muda yang
cenderung visual dan digital. Ketimbang hanya membaca buku teks, mereka dapat
langsung melihat dan merasakan suasana zaman lampau melalui karya seni
instalasi dan rekonstruksi sejarah seperti ini.
Maka dari itu, penting bagi institusi budaya dan
pendidikan untuk terus mendukung pemeliharaan serta pengembangan museum
interaktif dan edukatif. Sejarah bukan hanya milik akademisi atau sejarawan. Ia
adalah warisan bersama yang harus terus dihidupkan.
Dua diorama ini, dalam diamnya, mampu menyuarakan dua
sisi realitas yang pernah hidup di bumi pertiwi. Sebuah gambaran yang
memperlihatkan bahwa Indonesia dibangun dari peluh rakyat biasa dan keputusan
di ruang elit keduanya tak bisa dipisahkan dari narasi bangsa.
Bagi Anda yang ingin menyaksikan langsung diorama ini,
datanglah ke Museum Bank Indonesia, yang berlokasi di Jl. Pintu Besar Utara
No.3, RT.4/RW.6, Pinangsia, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta. Museum ini buka hari Selasa hingga Minggu, pukul 08.00 – 15.00
WIB, dan tutup setiap hari Senin serta hari libur nasional.
Text: Nadira Aulia Azahra
Komentar
Posting Komentar